MUSLIMAH JOMBLO ANTI GALAU
Dalam
hidup dan kehidupan, Allah menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan. Tak terkecuali kita, manusia. Hikmah memasangkan
manusia dalam ikatan pernikahan diantaranya adalah untuk memberi sakinah
(ketenangan dan kebahagiaan), dan kasih sayang, serta kecintaan yang
merupakan kebutuhan dasar manusia.
Sakinah hanya akan tercipta saat manusia berpasangan dalam ikatan
pernikahan. Hal itu terjadi karena pernikahan merupakan perjanjian yang
kuat atas nama Allah SWT. Orang yang terlibat dalam ikatan dan
perjanjian ini tak hanya bertanggung jawab pada pasangannya, melainkan
juga bertanggung jawab kepada Allah. Tanggung jawab inilah yang membuat
ikatan pernikahan memiliki keistimewaan yang tidak dapat disamakan
dengan ibadah lainnya.
Meski demikian, untuk mendapatkan pasangan yang tepat tidak selamanya
mudah. Hal ini berkaitan dengan masalah jodoh. Sementara, jodoh itu
sendiri merupakan hal yang ghaib.
Terkadang pada sebagian orang, jodoh mudah sekali datangnya. Sedangkan
bagi sebagian yang lain, kedatangan jodoh terasa sulit. Bahkan, ada yang
sampai memasuki usia senja sekalipun, seseorang belum menemukan
pasangan hidupnya.
Hal tersebut terkadang menimbulkan keresahan bagi yang mengalami,
terutama kaum muslimah. Masih menyandang status jomblo di usia yang
sudah –bahkan kelewat—matang, mendatangkan kegalauan yang sulit ditepis.
Jangan Percaya Takhayul Yang Menyesatkan
Tak dapat dipungkiri, jomblo’nya kita di usia yang telah matang
terkadang memancing simpati, empati, dan basa-basi dari lingkungan
sekitar. Parahnya, simpati itu lebih sering ditunjukkan dengan cara yang
salah. Terutama dari orang yang merasa lebih berpengalaman atau usianya
lebih dari kita terkadang memberi saran atau nasehat yang sesat dan
menyesatkan.
Ungkapan, “Jangan duduk di depan pintu, nanti susah jodoh.”, atau, “Ambil gih melati dari untaian yang dipakai mempelai perempuan, tapi jangan sampai pengantinnya tahu.”
Sering sekali kita dengar dari orang-orang dengan maksud memberi
nasehat pada kita agar ‘mudah jodoh’. Padahal kalau mau berfikir, banyak
hal yang aneh dan tidak nyambung dari ungkapan tersebut dengan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh.
Misalnya, jangan duduk di depan pintu, nanti jodohnya susah. Padahal
yang benar, pintu adalah akses keluar masuk, jadi tidak dianjurkan untuk
berdiri atau berada di pintu, karena akan menghalangi. Apalagi sampai
duduk, tidak sopan itu namanya.
Lalu bagaimana dengan ungkapan mengambil melati dari untaian pengantin
wanita tanpa diketahui si empunya? Wah, itu sama saja dengan mencuri.
Apa iya ingin mendapat jodoh yang sholeh tapi harus mencuri terlebih
dahulu?!
Belum lagi ‘anjuran’ yang tak kalah populer dan masih banyak digunakan
dengan tidak boleh menikah melangkahi kakak, terutama perempuan. Hal
tersebut pantang dilakukan, karena katanya hal itu menyebabkan sang
kakak jadi susah jodoh. Jelas saja hal ini hanyalah mitos semata. Jika
ada lelaki sholeh yang datang pada kita lalu kita tolak dengan alasan
tidak mau melangkahi kakak yang belum menikah, tentu hal ini
bertentangan dengan anjuran Rasulullah saw, “Apabila datang kepadamu
seorang laki-laki yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaqnya, hendaklah
kamu terima, karena kalau kamu tidak menerima, niscaya akan menjadi
fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” (HR.Tirmidzi dan Ahmad)
Penting waspada, sobat muslimah. Hal-hal tersebut di atas –dan masih
banyak anjuran sejenis—dapat menjerumuskan kita pada tindakan syirik
jika kita turuti dan lakukan. Sebagai muslimah, tentu kita harus
meyakini hanya Allah satu-satunya penolong dan Yang Maha Menetapkan
segala sesuatu. Bukan yang lain! Apalagi sampai percaya mitos dan
takhayul. Na’udzubillah.
Mari Jemput Jodoh dari Tangan Allah
Sobat muslimah tentu pernah mendengar ungkapan, “Jodoh itu di tangan Allah. Kalau tidak diambil, ya tetap di tangan Allah terus.”. Tentu saja, kalimat tersebut hanya guyonan
belaka. Tapi, jika kita mau sedikit merenung, kalimat tersebut ada
benarnya juga. Bahwa jangan karena jodoh itu di tangan Allah, kemudian
kita sebagai hamba hanya berdiam diri tanpa berusaha ‘mengambil’ atau
menjalani beragam ikhtiar yang disyariatkan.
Setelah kita berhasil melepaskan diri dari jeratan mitos dan takhayul
seperti yang telah disebutkan di atas, tentu kita harus menjalani masa
penantian dengan ikhtiar menjemput jodoh yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Apa saja?
Yang pertama adalah niat untuk tidak menunda pernikahan dengan beragam
alasan. Karena Islam adalah agama yang memerintahkan setiap umatnya
untuk menikah atau menjalani hidup berumah tangga.
Islam melarang keras seseorang yang enggan menjalani hidup berumah
tangga. Bahkan Rasulullah saw dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang
menunda-nunda pernikahan padahal ia telah mampu, maka ia dapat
digolongkan sebagai teman setan karena tidak merasa bersalah menyimpang
dari fitrah. Juga termasuk golongan pendeta Nasrani yang merasa dirinya
lebih suci dengan tidak menikah. Atau termasuk orang durhaka karena
mendustai tuntutan biologis yang telah diatur oleh Allah. Juga termasuk
orang yang hina kematiannya karena memutuskan tali keturunan yang dapat
dijadikan penolong dirinya di hadapan Allah. Dan termasuk orang tercela
karena tidak mau menjalankan tanggung jawab berpasangan. Na’udzubillahi min dzalik. Jangan sampai kita termasuk dalam golongan di atas karena menunda-nunda pernikahan dengan alasan yang tidak berdasar.
Ikhtiar selanjutnya dalam menjemput datangnya jodoh adalah kita jangan
segan-segan untuk menggali pengetahuan tentang pasangan yang ideal.
Pernikahan dalam Islam bertujuan membuat seseorang merasa sakinah
terhadap pasangannya. Sementara, kata “sakinah” dalam bahasa Arab
memiliki arti rukun, akrab, intim, jinak, berkumpul, bersatu,
bersahabat, percaya, senang, dan ridha. Sakinah dapat diistilahkan
sebagai keadaan rumah tangga yang bahagia dan tenteram.
Agar dapat memenuhi tujuan pernikahan yang sakinah tentu kita harus
memperoleh gambaran yang jelas tentang calon suami yang baik untuk
dijadikan pasangan. Yang terpenting, gambaran ini haruslah sesuai dengan
tuntunan agama yang telah digariskan oleh Allah.
Setelah kita menggali informasi mengenai pasangan yang ideal, kita pun
harus aktif berusaha. Tapi perlu diingat, berusaha di sini tetaplah
harus dalam koridor syar’I. Jangan dengan alasan berusaha mencari jodoh
lalu kita menggadaikan izzah kita sebagai muslimah. Misalnya dengan
memajang foto narsis kita di facebook dengan tujuan untuk
menarik perhatian lawan jenis. Atau SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan
lawan jenis yang kita mempunyai kecenderungan hati terhadapnya. Bukan!
Bukan dengan jalan yang demikian.
Aktif berusaha yang dimaksud adalah, kita dapat mencari informasi
tentang seseorang kepada orang yang shalihah dan terpercaya. Mengenai
siapa yang sama-sama sedang dalam masa penantian jodoh, misalnya.
Jika hal itu sudah dilalui, kita pun jangan terburu-buru. Sangat penting
kiranya kita meneliti calon pasangan. Tindakan ini bertujuan meyakinkan
apakah calon pasangan sesuai dengan harapan atau tidak. Hal ini pun
pantang dijalankan sendiri. Melainkan harus dengan cara mengirim utusan
serta mendengarkan opini atau informasi dari pihak ke tiga. Karena jika
ikhtiar yang demikian dijalankan sendiri, dikhawatirkan kita akan
terjerumus dalam hal-hal yang dilarang oleh agama yang menyebabkan
tercerabutnya barakah pernikahan.
Yang tak kalah penting dalam usaha menjemput jodoh yang selanjutnya
adalah kita harus memperbaiki diri. Sebab, usaha terbaik untuk
mendapatkan jodoh yang baik adalah dengan senantiasa memperbaiki diri.
Mustahil kiranya jika kita berharap jodoh sekualitas sahabat, Ali ra.
jika diri kita tak memiliki kualitas setara Fathimah ra. Sebagaimana
kita juga serasa bermimpi di siang hari berharap mendapat jodoh yang
sholeh dan teguh di jalan dakwah, jika kita bukan wanita shalihah yang
juga aktif dan ikhlas berdakwah.
Ya, jodoh kita adalah bagaimana kita. Maka, teruslah memperbaiki diri
sampai batas di mana kita ingin pasangan kita berkualitas sebagaimana
yang kita harapkan.
Jangan Galau, Sebab Kita Muslimah
Bagaimana jika niat ingin menikah sudah kuat dan segala ikhtiar telah
dijalani namun belum dimampukan (dipertemukan dengan pasangan) oleh
Allah?
Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian
diri mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (Q.S.An Nuur: 33)
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan orang yang belum mampu
menikah untuk bersabar sampai Allah memampukannya dengan karunia yang
besar. Dan jika dorongan untuk menikah sudah bergejolak, kita
diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa
kita untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Maka dari itu, sobat muslimah, menyibukkan diri dengan aktivitas yang
bermanfaat, mutlak dilakukan agar hidup kita makin berkualitas dan
hari-hari kita tidak dipenuhi kegalauan sebab kita masih menjomblo.
Bergabunglah dengan komunitas muslimah shalihah yang aktif dalam
kegiatan-kegiatan ke-Islaman.
Banyak-banyaklah bergaul dengan para muslimah yang hari-harinya selalu
penuh dengan energi positif, percaya diri, dan pikiran positif, yang
semua itu tentunya dapat ‘menular’ pada diri kita. Disamping dapat
mengusir rasa galau, membuka diri dengan aktifitas dan orang-orang yang
shalihah dapat menjadi sarana belajar bagi kita hingga menjadi muslimah
luar biasa. Ingat, usaha terbaik untuk mendapatkan jodoh yang baik
adalah dengan senantiasa memperbaiki diri!
Tawakal yang Menguatkan Kita
Sobat muslimah, sesungguhnya hanya Allah saja yang tahu kapan dan
bagaimana kita bertemu dengan jodoh kita. Semua hal tentang nasib kita
–termasuk jodoh—ditetapkan oleh Allah dengan kuasa-Nya jauh sebelum kita
dilahirkan.
Hanya Allah yang tahu segala sesuatu yang bersifat ghaib. Jangankan
manusia biasa, para malaikat dan para Nabi saja tidak diberi pengetahuan
oleh Allah tentang hal yang ghaib.
Tidak akan habis pembicaraan soal jodoh bagi seorang muslimah, karena
bicara tentang jodoh berarti bicara tentang nasib. Dan itu artinya
bicara tentang kemahakuasaan Allah yang ilmu-Nya tanpa batas. Berbicara
tentang jodoh berarti memikirkan apa yang disebut sebagai taqdir Allah
atau Qada’ dan Qadar.
Sementara, langit, bumi, seluruh alam semesta beserta isinya sudah
‘ditulis’ oleh Allah 50 ribu tahun sebelum semua itu kemudian dijadikan
atau diciptakan oleh Allah.
“Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau
meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan,
mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah, sesungguhnya
seandainya umat ini bersatu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu,
maka mereka tidak akan dapat memberinya, kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah tetapkan atasmu. Dan seandainya mereka bersatu untuk
mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat
mendatangkannya, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan
atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.” (HR.Tirmidzi)
Jadi, sudah selesai’kah urusan taqdir Allah tentang jodoh kita? Ya,
‘tinta’ yang digunakan untuk menulis semua yang ditaqdirkan Allah itu
kini sudah kering, diikuti dengan dimulainya pelaksanaan taqdir Allah
itu.
Oleh sebab itu, bertawakal’lah! Karena itu yang akan menjadikan kita
makin kuat menjalani hari dalam penantian akan datangnya jodoh. Dan
jangan lupa, usaha terbaik untuk menemukan jodoh yang baik adalah
senantiasa memperbaiki diri dan memohon kepada Allah, Rabb yang
menggenggam taqdir-taqdir kita.
Jadi, jangan galau, sebab kita muslimah!
Minggu, 08 Desember 2013
APA HUKUM CINTA DALAM PANDANGAN ISLAM?
Hukum Jatuh Cinta Dalam Pandangan Islam Dan Bagaimana Mengelola Rasa Cinta
Masalah
perasaan cinta sebuah tema yang belum pernah saya tulis sebelumnya. Karena saya
berpikir masalah ini tidak terlalu urgen untuk dijadikan sebuah tulisan, dan
saya tidak mau disibukkan dengan masalah seperti ini.
Namun
seiring waktu, saya merasakan masalah ini sesuatu yang penting untuk ditulis.
Hampir setiap saya mengisi mentoring/liqo pekanan (terutama untuk kader
pemula), masalah ini hampir tidak pernah absen menjadi bahasan yang
didiskusikan/ditanyakan. Begitu juga saat mengisi materi dalam beberapa agenda,
masalah ini cukup sering menjadi bahan pertanyaan peserta. Dan saya juga sangat
sering menerima SMS dan pesan facebook dari ikhwah dan sahabat lainnya yang
bertanya tentang masalah yang ini.
Saya
sebenarnya merasa belum pantas untuk menulis masalah ini, karena masalah ini
seharusnya ditulis oleh orang yang yang memang mampu menjaga dan menata hatinya
dengan baik terkait masalah ini. Dan saya bukanlah orang yang mampu menjaga dan
menata hati dengan baik, masih ada perasaan yang seharusnya tidak boleh ada
yang masih menghinggapi hati ini. Tulisan ini hanya bentuk usaha untuk saling
berbagi dan saling mengingatkan diantara sesama muslim, terlebih mengingatkan
diri saya sendiri.
Saya
sering mengartikan “jatuh cinta” ini dengan kata “kecendrungan”, jatuh cinta
adalah kecendrungan terhadap sesuatu melebihi dari yang lainnya. Jika seorang laki-laki jatuh cinta kepada
seorang perempuan, artinya ia mempunyai kecendrungan kepada perempuan tersebuan
tersebut melebihi perempuan lainnya.
Lalu
Bagaimana Islam Memandang Masalah Kecendrungan Ini?
Kecendrungan
terhadap lawan jenis merupakan fitrah setiap manusia, islam adalah agama yang
tidak pernah bertentangan dengan fitrah manusia, maka islam tidak pernah
melarang dan menganggap sebuah dosa rasa kecendrungan/rasa jatuh cinta kepada
lawan jenis. Maka hukum asal dari jatuh cinta adalah boleh/mubah, namun
selanjutnya ia menjadi boleh atau dilarang (berdosa) tergantung dengan
penyikapan atau bagaimana mengelola rasa itu setelah rasa itu muncul.
Al-Quran
menerangkan bahwa rasa kecendrungan/jatuh cinta merupakan fitrah dasar manusia.
“dijadikan terasa indah dalam pandangan
manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita,
.... (QS. Ali Imran: 14).
Fitrah
manusia adalah sesuatu yang tidak bisa dilarang, juga tidak bisa
dihalang-halangi datangnya, karena ia merupakan rasa yang timbul secara alami
pada diri manusia. Fitrah manusia merupaka sesuatu yang diciptakan Allah sedari
awal penciptaan manusia, ini disebut dengan sunnatullah. Melarang munculnya
sunnatullah merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Maka,
tidak ada dosa bagi seseorang mempunyai kecendrungan terhadap lawan jenisnya,
suka dan cinta yang tumbuh dalam dirinya secara natural.
Yang
menjadi masalah/dosa bukan rasa kecendrungan itu, tapi penyikapan atau
pengelolaan rasa kecendrungan tersebut. Ia akan menjadi salah jika dikelola dengan
salah, dan ia akan menjadi benar ketika dikelola dengan benar, bahkan ia
mendatangkan pahala jika dikelola sesuai dengan syariat. Maka yang terpenting
bukan masalah jatuh cintanya, tapi bagaimana mengelola rasa jatuh cinta
tersebut saat ia muncul.
Jika
tiba-tiba muncul rasa kagum pada seorang lawan jenis, kemudian sedikit demikit
sedikit secara tidak sadar muncul perasaan suka, maka kelolalah ia dengan
benar. Jika rasa itu muncul, kemudia rasa itu terus kita turuti sehingga
perasaan itu kita ungkapkan kepada orang kita cendrungi, selanjutnya
terkalinlah Hubungan Tanpa Status (HTS)/Pacaran, maka ini adalah pengelolaan
yang salah.
Secara
umum, ada dua macam bagaimana mengelola kencendrungan dengan benar sehingga
tidak terjatuh pada hal-hal yang dilarang syariat:
1.
Saat rasa suka
itu muncul, dan pada saat itu kita sudah siap untuk menikah, maka silahkan
ungkapkan rasa itu dengan wanita/pria yang kita sukai, silahkan lansung lamar
dia dengan cara dan proses yang syar’i.
Ini
adalah pengelolaan rasa cinta yang terbaik, yang paling dianjurkan. Bukan dosa
yang didapat, tapi insya Allah mendatangkan kebaikan/pahala dari Allah Swt.
2.
Saat rasa itu
muncul, namun kita pada kondisi belum siap untuk menikah, maka jangan
sekali-kali memperturuti perasaan ini, apalagi sampai melanggar aturan syar’i.
Berjuanglah melawan rasa ini dengan maksimal. Mungkin langkah-langkah ini cukup
membantu dalam mengelola perasaan ini:
- Kurangi interaksi dengan si dia, karena biasanya rasa itu muncul seiring dengan seringnya interaksi.
- Kurangi komunikasi melalui sosial media, atau anda bisa membatasi diri untuk berselancar di dunia sosial media. Sosial media ini cukup berbahaya dan cukup banyak memakan korban. Sosial media punya pengaruh yang cukup besar melahirkan rasa ini.
- Kurangi kontak SMS atau telponan, bahkan jika bisa stop sama sekali.
- Jika memungkinkan, stop interaksi dengan dia secara total sampai rasa itu hilang, hapus Nomor Hp nya dan putus hubungan di sosial media. Insya Allah ini sangat membantu melupakan dia.
- Kurangi menyebut dia, baik dalam tulisan buku harian atau ngobrol dengan teman. Juga hindari bergurau tentang dia dengan teman
- Sibukkanlah diri dengan kegiatan yang bermanfaat.
- Tentukan kriteria calon istri/suami yang lebih tinggi dari sosok yang kita sukai/cintai, sehingga rasa suka kita berkurang karena dia belum sesuai dengan kriteria calon istri/suami yang kita inginkan.
- Yakinlah jodoh sudah disiapkan Allah, dan berdoalah supaya diberikan yang lebih baik.
- Berdoalah supaya rasa itu dihilangkan Allah dari hati kita, berdoalah supaya Allah memberi jalan yang trbaik.
Walaupun
rasa rasa jatuh cinta bukan sesuatu yang dilarang, tapi kita harus tetap
berhati-hati dengan rasa ini, karena banyak orang yang terjatuh kelembah maksiat
disebabkan oleh rasa ini, karena gagal mengelolanya dengan benar.
Walaupun
rasa ini bukan sesuatu yang haram (awal dan asalnya), tapi perasaan ini tetap
tidak boleh terlalu lama bersemayam di hati kita tanpa ikatan yang sah dan
halal. Rasa ini harus diatasi secepat mungkin.
Saat
rasa itu datang, itu bukan suatu kesalahan.
Tapi membiarkan di hati berlarut-larut, apalagi
sampai memperturutinya, maka ini kesalahan besar.
Kecendrunan
ini adalah sesuatu yang dibolehkan, tapi harus diwaspadai.Hukum Jatuh Cinta Dalam Pandangan Islam
Dan Bagaimana Mengelola Rasa Cita
Masalah
perasaan cinta sebuah tema yang belum pernah saya tulis sebelumnya. Karena saya
berpikir masalah ini tidak terlalu urgen untuk dijadikan sebuah tulisan, dan
saya tidak mau disibukkan dengan masalah seperti ini.
Namun
seiring waktu, saya merasakan masalah ini sesuatu yang penting untuk ditulis.
Hampir setiap saya mengisi mentoring/liqo pekanan (terutama untuk kader
pemula), masalah ini hampir tidak pernah absen menjadi bahasan yang
didiskusikan/ditanyakan. Begitu juga saat mengisi materi dalam beberapa agenda,
masalah ini cukup sering menjadi bahan pertanyaan peserta. Dan saya juga sangat
sering menerima SMS dan pesan facebook dari ikhwah dan sahabat lainnya yang
bertanya tentang masalah yang ini.
Saya
sebenarnya merasa belum pantas untuk menulis masalah ini, karena masalah ini
seharusnya ditulis oleh orang yang yang memang mampu menjaga dan menata hatinya
dengan baik terkait masalah ini. Dan saya bukanlah orang yang mampu menjaga dan
menata hati dengan baik, masih ada perasaan yang seharusnya tidak boleh ada
yang masih menghinggapi hati ini. Tulisan ini hanya bentuk usaha untuk saling
berbagi dan saling mengingatkan diantara sesama muslim, terlebih mengingatkan
diri saya sendiri.
Saya
sering mengartikan “jatuh cinta” ini dengan kata “kecendrungan”, jatuh cinta
adalah kecendrungan terhadap sesuatu melebihi dari yang lainnya. Jika seorang laki-laki jatuh cinta kepada
seorang perempuan, artinya ia mempunyai kecendrungan kepada perempuan tersebuan
tersebut melebihi perempuan lainnya.
Lalu
Bagaimana Islam Memandang Masalah Kecendrungan Ini?
Kecendrungan
terhadap lawan jenis merupakan fitrah setiap manusia, islam adalah agama yang
tidak pernah bertentangan dengan fitrah manusia, maka islam tidak pernah
melarang dan menganggap sebuah dosa rasa kecendrungan/rasa jatuh cinta kepada
lawan jenis. Maka hukum asal dari jatuh cinta adalah boleh/mubah, namun
selanjutnya ia menjadi boleh atau dilarang (berdosa) tergantung dengan
penyikapan atau bagaimana mengelola rasa itu setelah rasa itu muncul.
Al-Quran
menerangkan bahwa rasa kecendrungan/jatuh cinta merupakan fitrah dasar manusia.
“dijadikan terasa indah dalam pandangan
manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita,
.... (QS. Ali Imran: 14).
Fitrah
manusia adalah sesuatu yang tidak bisa dilarang, juga tidak bisa
dihalang-halangi datangnya, karena ia merupakan rasa yang timbul secara alami
pada diri manusia. Fitrah manusia merupaka sesuatu yang diciptakan Allah sedari
awal penciptaan manusia, ini disebut dengan sunnatullah. Melarang munculnya
sunnatullah merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Maka,
tidak ada dosa bagi seseorang mempunyai kecendrungan terhadap lawan jenisnya,
suka dan cinta yang tumbuh dalam dirinya secara natural.
Yang
menjadi masalah/dosa bukan rasa kecendrungan itu, tapi penyikapan atau
pengelolaan rasa kecendrungan tersebut. Ia akan menjadi salah jika dikelola dengan
salah, dan ia akan menjadi benar ketika dikelola dengan benar, bahkan ia
mendatangkan pahala jika dikelola sesuai dengan syariat. Maka yang terpenting
bukan masalah jatuh cintanya, tapi bagaimana mengelola rasa jatuh cinta
tersebut saat ia muncul.
Jika
tiba-tiba muncul rasa kagum pada seorang lawan jenis, kemudian sedikit demikit
sedikit secara tidak sadar muncul perasaan suka, maka kelolalah ia dengan
benar. Jika rasa itu muncul, kemudia rasa itu terus kita turuti sehingga
perasaan itu kita ungkapkan kepada orang kita cendrungi, selanjutnya
terkalinlah Hubungan Tanpa Status (HTS)/Pacaran, maka ini adalah pengelolaan
yang salah.
Secara
umum, ada dua macam bagaimana mengelola kencendrungan dengan benar sehingga
tidak terjatuh pada hal-hal yang dilarang syariat:
1.
Saat rasa suka
itu muncul, dan pada saat itu kita sudah siap untuk menikah, maka silahkan
ungkapkan rasa itu dengan wanita/pria yang kita sukai, silahkan lansung lamar
dia dengan cara dan proses yang syar’i.
Ini
adalah pengelolaan rasa cinta yang terbaik, yang paling dianjurkan. Bukan dosa
yang didapat, tapi insya Allah mendatangkan kebaikan/pahala dari Allah Swt.
2.
Saat rasa itu
muncul, namun kita pada kondisi belum siap untuk menikah, maka jangan
sekali-kali memperturuti perasaan ini, apalagi sampai melanggar aturan syar’i.
Berjuanglah melawan rasa ini dengan maksimal. Mungkin langkah-langkah ini cukup
membantu dalam mengelola perasaan ini:
- Kurangi interaksi dengan si dia, karena biasanya rasa itu muncul seiring dengan seringnya interaksi.
- Kurangi komunikasi melalui sosial media, atau anda bisa membatasi diri untuk berselancar di dunia sosial media. Sosial media ini cukup berbahaya dan cukup banyak memakan korban. Sosial media punya pengaruh yang cukup besar melahirkan rasa ini.
- Kurangi kontak SMS atau telponan, bahkan jika bisa stop sama sekali.
- Jika memungkinkan, stop interaksi dengan dia secara total sampai rasa itu hilang, hapus Nomor Hp nya dan putus hubungan di sosial media. Insya Allah ini sangat membantu melupakan dia.
- Kurangi menyebut dia, baik dalam tulisan buku harian atau ngobrol dengan teman. Juga hindari bergurau tentang dia dengan teman
- Sibukkanlah diri dengan kegiatan yang bermanfaat.
- Tentukan kriteria calon istri/suami yang lebih tinggi dari sosok yang kita sukai/cintai, sehingga rasa suka kita berkurang karena dia belum sesuai dengan kriteria calon istri/suami yang kita inginkan.
- Yakinlah jodoh sudah disiapkan Allah, dan berdoalah supaya diberikan yang lebih baik.
- Berdoalah supaya rasa itu dihilangkan Allah dari hati kita, berdoalah supaya Allah memberi jalan yang trbaik.
Walaupun
rasa rasa jatuh cinta bukan sesuatu yang dilarang, tapi kita harus tetap
berhati-hati dengan rasa ini, karena banyak orang yang terjatuh kelembah maksiat
disebabkan oleh rasa ini, karena gagal mengelolanya dengan benar.
Walaupun
rasa ini bukan sesuatu yang haram (awal dan asalnya), tapi perasaan ini tetap
tidak boleh terlalu lama bersemayam di hati kita tanpa ikatan yang sah dan
halal. Rasa ini harus diatasi secepat mungkin.
Saat
rasa itu datang, itu bukan suatu kesalahan.
Tapi membiarkan di hati berlarut-larut, apalagi
sampai memperturutinya, maka ini kesalahan besar.
Kecendrunan
ini adalah sesuatu yang dibolehkan, tapi harus diwaspadai.
BERJILBAB
Berjilbab
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat seorang wanita keluar rumah atau pun wanita di dalam rumah bersama pria yang bukan muhrimnya maka syara' telah mewajibkan kepada wanita untuk berjilbab. Pakaian jilbab yang diwajibkan tersebut adalah memakai khimar/kerudung, jilbab/pakaian luar dan tsaub/pakaian dalam. Jika bertemu dengan pria yang bukan mahromnya/keluar rumah tanpa menggunakan jilbab tersebut meskipun sudah menutup aurat maka ia dianggap telah berdosa karena telah melanggar dari syara'. Jadi pada saat itu wanita Muslimah harus mengenakan tiga jenis pakaian sekaligus yaitu khimar/kerudung, jilbab/pakaian luar dan tsaub/pakaian dalam.
Khimar (kerudung)
Perintah syara' untuk mengenakan khimar bagi wanita yang telah baligh pada kehidupan umum terdapat dalam QS An Nuur: 31. Kata juyuud dalam ayat tersebut merupakan bentuk jamak dari kata jaibaun yang berarti kerah baju kurung. Oleh sebab itu yang dimaksud ayat itu ''hendaklah wanita Mukminah menghamparkan penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar
leher dan dadanya tertutupi''.
Berkaitan dengan ini Imam Ali Ash Shabuni dalam Kitab Tafsir Ayatil Ahkam berkata: ''Firman Allah, hendaklah mereka mengulurkan kerudung mereka'' itu digunakan kata Adh dharbu adalah mubalaghah dan di muta'adikannya dengan harf bi adalah memiliki arti ''mempertemukan'', yaitu kerudung itu hendaknya terhampar sampai dada supaya leher dan dada tidak tampak (juz 2: 237).
Wanita jahiliyah berpakaian berlawanan dengan ajaran Islam. Mereka memakai kerudung tetapi dilipat ke belakang/punggung
dan bagian depannya menganga lebar sehingga bagian telinga dan dada mereka nampak (lihat Asy Syaukani dalam Faidlul Qodir dan Imam Al Qurtubi dalam Jaami'u lil Ahkam juz 12: 230). Di zaman jahiliyah apabila mereka hendak keluar rumah untuk mempertontonkan diri di suatu arena mereka memakai baju dan khimar (yang tidak sempurna) sehingga tiada bedanya antara wanita merdeka dengan hamba sahaya (Muhammad Jalaluddin Al Qasimi dalam Mahaasinut Ta'wil, juz 12:308).
Jilbab
Ada pun untuk mengenakan jilbab bagi wanita dalam kehidupan umum dapat kita perhatikan QS Al Ahzab: 59. Allah
SWT memberikan batasan mengenai pakaian wanita bagian bawah. Arti lafadz yudniina adalah mengulurkan atau memanjangkan sedangkan makna jilbab adalah malhafah, yaitu sesuatu yang dapat menutup aurat baik berupa kain atau yang lainnya. Dalam kamus Al Muhith disebutkan bahwa jilbab adalah pakaian lebar dan longgar untuk wanita serta dapat menutup pakaian sehari-hari (tsaub) ketika hendak keluar rumah. Ummu Atiya Ra: ''Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik para gadis yang sedang haid maupun yang sudah menikah. Mereka yang sedang haid tidak mengikuti shalat dan mendengarkan kebaikan serta nasihat-nasihat kepada kaum Muslimin. Maka Ummu Athiyah berkata: Ya Rasulullah, ada eseorang yang tidak memiliki jilbab maka Rasulullah SAW bersabda: ''Hendaklah saudaranya meminjamkan kepadanya''(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i).
Adapun jilbab/pakaian luar yang disyaratkanadalah:
1. Menjulur ke bawah sampai menutupi kedua kakinya (tidak berbentuk potongan atas dan bawah, baik rok atau celana (seluar) panjang) sebab firman Allah SWT: ''Dan hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'',
yaitu hendaklah diulurkan jilbabnya ke bawah sampai menutup kaki bagian bawah. Sebab diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ''Barang siapa mengulurkan pakaian karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya di hari kiamat.Ummu Salamah bertanya: 'Bagaimanakah wanita dengan ujung pakaian yang dibuatnya?' Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah diulurkan sejengkal'. Ummu Salamah bertanya lagi: 'Kalau demikian telapak kakinya terbuka?' Maka jawab Nabi SAW: 'Jika demikian perpanjanglah sampai satu hasta dan jangan ditambah'.'' (HR Jamaah).Hadis ini menjelaskan bahwa jilbab diulurkan kebawah sampai menutup kedua kakinya. Meskipun kedua kakinya
tertutup dengan kaus kaki atau sepatu, maka hal itu tidak menggantikan fungsi mengulurkan jilbab yang dihamparkan sampai ke
bawah sehingga kakinya tidak tampak.
2. Bukanlah pakaian tipis sehingga warna kulit dan lekuk tubuhnya tampak. Dari Usamah bin Said Ra: ''Rasulullah SAW
pernah memberikan kain qibthi (sejenis kain tipis). Kain ini telah beliau terima sebagai hadiah dari Dahtah Al Kalabi tetapi
kemudian kain tersebut akan aku berikan kepada istriku, maka tegur Rasulullah kepadaku: ''Mengapa tidak mau pakai saja kain qibthi itu?'' Saya menjawab: ''Ya Rasulullah, kain itu telah saya berikan kepada istriku''. Maka sabda Rasulullah: ''Suruhlah dia mengenakan pula baju di bagian dalamnya (kain tipis itu) karena aku khawatir nampak lekuk-lekuk tubuhnya'' (HR Ahmad). Dan diriwayatkan pula dari Aisyah Ra (HR Abu Daud).
3. Bukanlah pakaian yang menyerupai laki-laki (seperti celana (seluar) panjang), tetapi bila sebagai tsaub/pakaian adalah boleh. Sebagai pakaian dalam, celana panjang tersebut panjangnya hendaklah lebih pendek daripada jilbab itu sendiri. ''Rasulullahmelaknat laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan melaknat wanita yang berpakaian seperti pakaian laki-laki.'' '(HR Abu Daud).
4. Tidak memakai wangi-wangian yang sampai menyebarkan bau yang dapat menarik perhatian laki-laki. Sabda Rasul
SAW: ''Siapa saja wanita yang memakai wewangian kemudian berjalan melewati suatu kaum dengan maksud agar mereka mencium harumnya, maka ia telah berzina.'' (HR Nasa'i, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).
Pakaian tsaub
Sedangkan kewajiban mengenakan pakaian tsaub (pakaian dalam, pakaian sehari-hari ketika di rumah yang tidak ada
laki-laki asingnya) dapat dipahami berdasarkan pengertian dalalatul isyarah bahwa setelah dilepaskannya jilbab/pakaian luar bukan berarti wanita tua tersebut tanpa busana sama sekali. (Imam Muhammad Abu Dzahrah dalam kitab Ushulul Fiqh: 164-147, Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh: 143-153, dan Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Asyakhshiyah Islamiyah juz 3: 178-179).
Model dan cara pemakaian jilbab
Adapun mengenai model dan cara pemakaian dan jilbab haruslah sederhana dan tidak mencolok baik dari segi warna maupun bentuknya sehingga menarik perhatian laki-laki.
Perhatikan Firman Allah SWT: ''Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah dahulu (QS 33: 33). Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah Ra: Nabi SAW pernah menemui Ummu Salamah Ra yang pada waktu itu sedang
memperbaiki letak kerudungnya, maka sabda beliau SAW, ''Lipatlah sekali jangan dua kali'' (HR Abu Daud).
Jilbab, misalnya, dapat digunakan dengan memakai kancing, kain yang dilipat-lipat dan sebagainya, asalkan syarat jilbab tersebut di atas terpenuhi. Jadi tidak asal menutup aurat.
Dengan demikian jelaslah bahwa syara' telah menetapkan bentuk khimar dan jilbab secara nyata. Khimar/kerudung adalah kain yang terhampar dapat menutupi bagian kepala (termasuk telinga selain wajah) sampai menutupi dada dan tidak menampakkan warna kulit. Sedangkan jilbab adalah baju kurung atau jubah yang tidak terputus dari atas hingga bawah. Jika pakaian penutup aurat berupa baju potongan, yang terdiri dari beberapa potongan maka bukan termasuk dalam kategori jilbab. Jika wanita dalam kehidupan umum dengan tidak memakai jilbab dalam pengertian tersebut maka ia berdosa meskipun pakaiannya menutupi seluruh auratnya, sebab diwajibkan menggunakan pakaian luar yang diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kakinya.
Kesimpulan
Dengan demikian telah jelas bahwa syariat berjilbab adalah wajib bagi kaum Muslimah sejak zaman Nabi SAW sampai
sekarang. Jilbab dipahami sebagaimana adanya yaitu khimar, jilbab, dan tsaub.
Jadi jilbab tidak hanya diwajibkan untuk wanita Muslimah di Aceh, akan tetapi jilbab telah diwajibkan oleh syara' bagi
Muslimah Indonesia dan wanita Muslimah di seluruh dunia tanpa kecuali.
Sehingga pernyataan penulis (Sayed Mahdi) telah menyimpang dari kaidah-kaidah syara', yaitu:
1. Alquran tidak menyebut batas aurat. Bahkan para ulama --menurut penulis-- pun ketika membahasnya berbeda
pendapat. Memang dalam Alquran secara eksplisit tidak menyebutnya, akan tetapi secara nyata telah memerintahkan kita
agar mentaati apa-apa yang dibawa Rasulullah SAW (QS Al Hasyr:7).
Menurut Hadis riwayat Abu Daud: ''Wahai Asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah menginjak dewasa (baligh/haid)
maka tidak boleh nampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk pada wajah dan telapak tangannya''. Dari Hadis ini para ulama salaf dahulu tidak berbeda pendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan perbedaan pendapat hanya terletak bahwa apakah muka juga termasuk aurat atau bukan sehingga pemakaian cadar pun masih diperdebatkan.
2. Jilbab (terlepas dari bagaimana bentuknya). Pernyataan tersebut secara eksplisit mengandung pengertian bahwa syara'
tidak menyebutkan model jilbab secara jelas. Padahal dari ayat di tas dapat dipahami secara jelas bahwa syarat jilbab telah ditentukan oleh syara'.
3. Pemakaian kaidah ushul al hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa 'adaman, dalam kasus jilbab ini bahwa jilbab sesuai dipakai dalam iklim kering dan panas ala gurun pasir Arabiyah dan sama sekali tidak kondusif di iklim tropis.
Pemakaian kaidah ini mengandung kesalahan sebab ia hanya digunakan ketika hukum-hukum syara' yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dalam hubungannya antara sesama manusia. Sedangkan masalah jilbab adalah hukum-hukum
syara' yang berkaitan dengan pakaian. Dalam hal ini tidak boleh dicari-cari 'illatnya/memang bersifat tauqifi sebagaimana
adanya. Dengan kata lain tidak boleh dikaitkan secara mutlak(An Nabhani, Mafaahiim, hal 29-31).
4. Kaidah ushul yang menyatakan bahwa hukum dapat sebab berbedanya waktu. Kaidah ini salah karena dua hal, yaitu Pertama, pemunculan kaidah ini ada mulai zaman keruntuhan negara Khilafah Islamiyah pertengahan abad ke-18 Masehi.
Pada zaman ini berbagai pemikiran yang menyimpang dari syara' atas nama Islam telah banyak beredar di masyarakat. Jumlah
para ulama pun yang selamat dari pemikiran yang rusak sangat sedikit. Sedangkan penulis menukil pendapat ulama seperti Ibnu'Abdin yang hidup di abad 19 M yang kemungkinan beliau telah terpengaruh pemikiran yang telah menyimpang dari kaidah-kaidah syara'. Kedua, kaidah ushul ini amat berbahaya sebab hukum syara'dapat berubah-ubah terus. Padahal ayat jilbab tersebut adalah qath'i. Yang seharusnya tidak memerlukan penafsiran lagi tentang kewajibannya.
Oleh karena itu, saya sangat menyayangkan pemikiran penulis yang notabene adalah pemikir muda Islam yaitu Mahasiswa
PTIQ Jakarta. Bukankah Allah SWT telah berfirman:
''Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya niscaya Allahmemasukkannya ke dalam api neraka'' (QS An Nisaa': 14). Na'udzubillahi min dzalik!! Maka sadarlah wahai saudaraku. Semoga pemikiran yang Anda lontarkan adalah kesalahan yang tidak sengaja.
Wallahu a'lam.
Langganan:
Postingan (Atom)